RESENSI SEKOLA RIMBA
Judul
Film : Sekola Rimba
Penulis Skenario : Riri Riza
Asisten Sutradara :
·
Rivano Setyo Utomo
·
Ratrikala Bhre Aditya
Produser :
Mira Lesmana
Durasi :
01:29:59
Koordinator Produksi : Dicky Dewasanto
Tanggal Rilis : 21 November 2013
Penata Rias : Eba Sheba
Penata Suara :
·
Satrio Budiono
·
Yusuf Patawari
Penata Musik : Aksan Sjuman
Penata Artistik : Eros Eflin
Editor :
W. Ichwandiardono
Pemain :
· Prisia Nasution sebagai Butet Manurung
·
Nyungsang Bungo sebagai Bungo
·
Nengkabau sebagai Nengkabau
·
Beindah sebagai Beindah
·
Bahar sebagai Rukman Rosadi
·
Andit sebagai Nadhira Suryadi
·
Dr. Astrid Hilde sebagai Ines Somellera
·
Ibu Pariyan sebagai Netta KD
Pembukaan
Sekola Rimba merupakan sebuah film produksi dari Miles
Films yang ceritanya terinspirasi dari sebuah buku “Sekola Rimba” dan
pengalaman langsung Butet Manurung. Kisah tentang sebuah perjuangan seorang
pendidik untuk terus mengajarkan baca tulis dan berhitung kepada anak-anak yang
tinggal di rimba. Menceritakan sebuah pengorbanan sang guru demi mencerdaskan
orang rimba yang tinggal di hulu dan hilir sungai makekal di hutan bukit
duabelas. Sebuah pengalaman Butet Manurung yang bekerja di sebuah lembaga
konversasi wilayah Jambi. Cerita ini terjadi pada masa indonesia pasca
reformasi.
Isi
Pertama kali Butet sampai di hutan bukit duabelas
Butet terserang demam malaria yang menyebabkannya jatuh pingsan di tengah hutan.
Kemudian datang seorang anak yang sedari awal sudah mengikuti Butet selama
perjalanan memasuki hutan tersebut dan memberitahukan kepada orang rimba yang
ada di makekal hulu bahwa ada guru yang hampir meninggal di tengah hutan.
Perjalanan selama 7 jam ditempuh sang anak dari makekal hilir itu untuk sampai
ke makekal hulu. Tak lama kemudian, anak dari makekal hulu datang dan membawa
Butet ke rumah mereka di makekal hulu.
Butet mengajarkan
anak-anak rimba tentang baca tulis dan menghitung dengan penuh kesabaran dan
kasih sayang. Mengajarkan dengan metode yang mudah mereka pahami, seperti
menggunakan buah karet dijadikan alat peraga berhitung.
Setiap hari si anak yang
menolong Butet datang memperhatikan aktivitas Butet. Anak tersebut bernama
Nyungsang Bungo dari makekal hilir, nama tumenggungnya Belaman Badai. Bungo ingin
belajar bersama dengan Butet agar ia mahir membaca dan dapat membaca surat
perjanjian yang terdapat cap jempol kepala adat yang berisi persetujuan
eksploitasi tanah adat mereka.
Pada suatu ketika Butet
kembali ke kantornya dan meminta izin kepada atasannya untuk merespon proposal
yang telah diajukannya beberapa minggu yang lalu agar mengajar anak-anak di
makekal hilir juga. Namun sang atasan tak memberi izin kepadanya untuk kesana.
Butetpun berpikir bagaimana caranya agar ia bisa mengajarkan baca tulis dan
berhitung di makekal hilir seperti ia mengajarkan baca tulis dan berhitung di
makekal hulu. Tanpa mendapat surat izin resmi dari atasan kantornya, Butet
pergi menemui tumenggung makekal hilir untuk meminta izin agar dapat
mengajarkan anak-anak di makekal hilir. Setelah menunggu lama, akhirnya
Tumenggung mengizinkannya untuk mengajar di makekal hilir. Namun sangat
disayangkan, awal kedatangannya tidak disambut baik dengan warga makekal hilir
berbeda dengan makekal hulu. Warga makekal hilir merasa terganggu dengan
kehadiran Butet untuk mengajar di makekal hilir. Mereka masih sangat kental
dengan budaya adat mereka yang meyakini bahwa pensil dapat membawa keburukan
atau bencana bagi makekal hilir. Hingga ia tidak bisa bertahan lama mengajar di
makekal hilir. Ia pun bergegas meninggalkan makekal hilir karena sang tumenggung
mengusirnya.
Melihat semangat belajar
anak-anak rimba tersebut membuat Butet termotivasi untuk kembali mengajar di
Makekal. Ia melihat betapa besar keinginan anak rimba untuk lebih maju. Butet
memutuskan untuk mengajar di rumah salah seorang warga yang bernama ibu Pariyan
setelah mendengar penjelasan dari ibu Pariyan bahwa anak-anak dari makekal
hilir sering datang ke rumahnya. Dengan rasa penuh semangat, ia memberitakan
kepada seluruh warga sekitar jika ada anaknya yang hendak belajar untuk datang
ke rumah ibu Pariyan. Hingga suatu ketika datang rombongan anak-anak makekal
hulu ke rumah ibu Pariyan untuk belajar. Lambat laun, banyak anak rimba yang
datang belajar bersama dengan mereka termasuk Bungo.
Bungo merasa nyaman
belajar dengan Butet sampai ia tidak pernah pulang kerumahnya di makekal hilir.
Suatu ketika datang rombongan petua dari makekal hilir datang menjemput Bungo
untuk membawanya kembali pulang karena ibunya khawatir dengan dirinya sekaligus
mengabarkan jika sang tumenggung telah tiada. Mendengar hal tersebut, Bungo
memutuskan untuk kembali ke makekal hilir. Sesampai disana ia tidak menemukan
warga makekal hilir ditempatnya, karena adanya perluasan Taman Nasional
Wanakarya Bangko, Jambi.
Pertemuan dengan Bungo
menyadarkan Butet tentang arti penting tempat tinggal mereka di rimba. Mereka
kerap berpindah rumah karena tipuan surat perjanjian yang ada cap jempol kepala
desa dimana surat itu tidak dapat mereka baca isinya. Sehingga membuat mereka
memberi cap jempol tersebut. Usai membaca surat perjanjian yang diberi Bungo
kepadanya, membuat Butet ingin mencerdaskn anak rimba agar tidak tertipu dengan
mudah memberi cap jempol lagi jika ada surat perjanjian. Butet semakin
bersemangat mengajarkan baca tulis dan berhitung kepada anak-anak rimba. Butet
juga langsung mengajarkan mereka praktek berhitung di pasar.
Semua usaha kerja keras
dan pengorbanan yang dilakukannya menghasilkan daya guna. Anak-anak rimba kini
sudah dapat baca tulis dan menghitung. Bahkan sudah berhasil membuat warga
makekal lebih berhati-hati terhadap surat perjanjian yang masuk. Mereka selalu
memberi surat tersebut kepada Bungo untuk dibaca terlebih dahulu agar mereka
tahu apa isi surat tersebut dan dapat mengambil tindakan yang bijaksna. Kini
mereka hidup tidak mudah ditipu dengan pihak manapun.
Melihat adanya kemajuan
yang kian meningkat dari anak-anak makekal hulu dan makekal hilir membuat Butet
termotivsi untuk mendirikan sebuah sekolah di tengah Rimba tersebut. Ia bekerja
sama dengan berbagai pihak untuk dapat mendirikan sekolah rimba. Dengan bantuan
dan dorongan para sahabatnya, mereka bergegas mendirikan sebuah sekola rimba
yang terletak di tengah hutan tropis hingga berdirilah sebuah “SEKOLA RIMBA”.
Kelebihan
dan Kekurangan
Kelebihan
:
·
Film ini mengandung banyak arti penting pendidikan
·
Mengajarkan semangat perjuangan menjadi
seorang guru demi mencerdaskan kehidupan bangsa
·
Mempunyai alur cerita yang menarik
·
Kesan dan pesan yang ingin disampaikan
penulis diceritakan langsung didalam film dan sangat menyentuh hati.
·
Menggambarkan secara nyata kondisi dan
keadaan masyarakat di tengah rimba
Kekurangan
:
·
Tidak digambarkan secara jelas lokasi
makekal hulu dan makekal hilir
·
Masih ada bagian yang menggantung
ceritanya
·
Banyak pemain yang belum tersampaikan
karakternya.
Penutup
Film ini mengajarkan
kepada kita semua arti penting sebuah pendidikan. Orang pedalaman yang tinggal
di rimba saja membutuhkan pendidikan seperti baca tulis dan berhitung meskipun
hanya baru apa adanya ilmu yang mereka dapatkan. Mereka mempunyai semangat
belajar yang tinggi. Sedangkan kita yang sudah dapat dikatakan maju dari mereka
tetapi malah semangat belajarnya rendah. Film ini menjadi sebuah tamparan kecil
bagi kita yang saat ini masih merasa lelah dan malas untuk belajar. Film ini
juga memberi sebuah motivasi besar untuk kita para pendidik bangsa. Bagaimana
cara usaha kita dalam mencerdaskan anak bangsa. Sebuah perjuangan dan
pengorbanan besar yang dilakukan oleh seorang guru tanpa merasa lelah dan
berputus asa.
Resensi
by : Karlina PMT 6D
Sebuah film dari kisah nyata seorang guru yang mengajar di suku pedalaman yang sangat menginspiratif dalam dunia pendidikan khususnya guru untuk memperjuangkan hak setiap anak untuk belajar dan menghasilkan generasi berilmu. Tulisan resensi ini sangat bagus dan membantu para penikmat film dalam memilih sebuah tontonan inspiratif. Ditunggu tulisan selanjutnya :)
BalasHapusTerimakasih. Ok. Tungu saja artikel saya berikutnya😂
BalasHapus